Desa Siwalan - Pekalongan, 31 Agustus di Suatu Masa
desau angin mendayu
membelai laksaan rumpun padi nan menguning
menghantar awan berarak-arak
dalam kedamaian, dalam keceriaan
Mentari belum sepenggalah, burung-burungpun masih penuh semangat beterbangan setelah sepagi ini mendapatkan banyak belalang disela-sela pepadian.
Sesemangat petani-petani, memilah dan menyiangi gulma dengan penuh sukacita. Terbayang sudah musim panen kali ini mendapatkan hasil yang sangat memuaskan.
Demikian juga dengan anak-anak, yang dengan ceria berlari-lari diantara pematang sawah. Sebagian anak asyik mencari keong, sebagian memancing, sebagian lagi bermain-main dikali yang merupakan sumber irigasi.
Desa Siwalan, disuatu masa adalah sebuah desa nan asri. terletak dipinggir jalan pantura yang pada masa itu hanya sesekali saja kendaraan yang berlalu-lalang.
Matapencaharian penduduk sebagian bertani, dan sebagian mengerjakan kerajinan batik, dan sebagian lagi merantau untuk menjadi pedagang, biasanya mereka berdagang tempe atau kopi. Dan para perantau biasanya berhasil mendulang rupiah yang nantinya akan digunakan untuk memakmurkan desa.
Dari jalan raya pantura. Desa Siwalan dibelah menjadi dua oleh sebuah jalan desa selebar 10 meter, sebelah kiri adalah area pemukiman, dan sebelah kanan adalah area persawahan.
Seperti namanya, pada awal pembentukan desa ini, terdapat banyak pohon Siwalan (lontar) yang merupakan pohon sejenis palma.
Berbatang tunggal dengan tinggi 15-30 m dan diameter batang sekitar 60 cm. Sendiri atau kebanyakan berkelompok, berdekat-dekatan.
Daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun serupa kipas bundar, berdiameter hingga 1,5 m, bercangap sampai berbagi menjari; dengan taju anak daun selebar 5-7 cm, sisi bawahnya keputihan oleh karena lapisan lilin. Tangkai daun mencapai panjang 1 m, dengan pelepah yang lebar dan hitam di bagian atasnya; sisi tangkai dengan deretan duri yang berujung dua.
Karangan bunga dalam tongkol, 20-30 cm dengan tangkai sekitar 50 cm.[2] Buah-buah bergerombol dalam tandan, hingga sekitar 20 butir, bulat peluru berdiameter 7-20 cm, hitam kecoklatan kulitnya dan kuning daging buahnya bila tua. Berbiji tiga butir dengan tempurung yang tebal dan keras.
Daun pohon Siwalan digunakan sebagai bahan kerajinan dan media penulisan naskah lontar. Barang-barang kerajinan yang dibuat dari daun lontar antara lain adalah kipas, tikar, topi, aneka keranjang.
Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan.
Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) disadap orang nira lontar. Nira ini dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol buatan rakyat.
Buahnya juga dikonsumsi, terutama yang muda. Biji yang masih muda itu masih lunak, demikian pula batoknya, bening lunak dan berair (sebenarnya adalah endosperma cair) di tengahnya. Rasanya mirip kolang-kaling, namun lebih enak. Biji yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah siwalan” (nungu, bahasa Tamil). Adapula biji siwalan ini dipotong kotak-kotak kecil untuk bahan campuran minuman es dawet siwalan yang biasa didapati dijual didaerah pesisir Jawa Timur, Paciran, Tuban. Rasa minuman es dawet siwalan ini terasa lezat karena gulanya berasal dari sari nira asli.
Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi selai.
Disepanjang jalan desa ditanam pohon turi.
Turi (Sesbania grandiflora syn. Aeschynomene grandiflora) merupakan pohon kecil (tinggi mencapai 10m). Asal diduga dari Asia Selatan dan Asia Tenggara namun sekarang telah tersebar ke berbagai daerah tropis dunia.
Bentuk berupa pohon dengan percabangan jarang, cabang mendatar, batang utama tegak, tajuk cenderung meninggi, daun menyirip ganda. Bunganya tersusun majemuk, mahkota berwarna putih, tipe kupu-kupu khas Faboideae. Buah polong, menggantung.
Turi dimanfaatkan sebagai pohon peneduh jalan atau pekarangan. Daun dan bunganya dapat disayur. Bunganya biasanya digunakan dalam pecel. Kulit batang turi berkhasiat sebagai obat radang usus, obat sariawan dan obat kudis.
Rumah-rumah penduduk pada masa itu, lantainya masih menggunakan tanah. Dinding berupa kayu atau bambu, dan atapnya masih menggunakan ijuk.
Dari desa inilah catatan perjalanan dimulai.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar